Powered By Blogger

Rabu, 16 Juli 2014

Cerpen 1

~~LANGIT ABU – ABU~~
OLEH : MUNIFATUZ ZAHROH
P
agi yang cerah menutup malam gemerlap kota tua itu . Gemericik air yang jatuh dari atap balkon dirumah yang telah lama tak terurus menjadi senandung melodi yang semakin menambah engker sebuah rumah yang tak kalah tuanya dengan umur kota itu .
Gio . Seorang hantu yang telah lama menghuni rumah itu sejak peristiwa kematiannya , kini  telah terbiasa dengan suasana yang tidak lagi membuatnya terganggu . Namun pagi ini , tak seperti biasanya , sebuah mobil aneh bertuliskan "WASH HOUSE " dan mobil mewah yang mengikuti dibelakangnya berhenti tepat dipekarangan rumah Gio .
"Cepat ! Aku ingin rumah ini bersih dalam waktu dua hari !!!" Teriak seorang lelaki gemuk yang berumur paruh baya dengan suara lantang . Gio tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumahnya . Belasan orang memasuki rumahnya begitu saja dan mengambil semua benda yang ada . Gio hanya bisa diam .
Keesokan harinya , ia menatap sekeliling rumahnya , dari mulai dapur , hingga ruang tamu yang dahulu tidak pantas disebut sebagai rumah (saking kotornya) . Ia menemukan rumahnya yang telah bersih dari kotoran dan debu yang menggumpal seperti biasanya . Orang – orang itu mengganti semua perabotan di rumahnya , bahkan lemari dan ranjang yang biasa ia tiduri . Ia jadi kesal sendiri .
"Apa yang mereka lakukan pada rumahku ???" Teriaknya keras . Namun sial , tak seorangpun yang mendengarnya . Sampai datang sebuah mobil yang berhenti didepan rumahnya . Beberapa orang turun dan membawa barang – barang kedalam rumah itu . Gio ingin marah dan memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang menyeramkan untuk memberi mereka pelajaran atas apa yang telah mereka lakukan pada rumahnya . Namun langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis remaja yang berusia tidak jauh dari umurnya saat meninggal dahulu .
"Inikah rumah kita yang sekarang , Ayah ?" Tanya gadis berumur 16 tahun itu pada seorang lelaki paruh baya yang baru turun dari jok supir di mobil yang mereka naiki .
"Benar , sayang . Tidak buruk'kan ?" Jawaban sekaligus pertanyaan ayahnya membuat gadis itu mengangguk tak bersuara .
"Setelah ini bereskan kamarmu dan kita akan segera makan siang." Kata ayahnya lagi sebelum meninggalkan putrinya yang masih sibuk memperhatikan rumah barunya .
Disaat yang sama Gio yang masih mengintip dari balik tirai jendela ruang tamu mulai menyadari bahwa akan ada  manusia yang akan menghuni rumah itu , tepatnya rumah Gio . Sesegera mungkin ia membuat dirinya tidak terlihat agar tak mengejutkan wanita yang telah membuatnya takjub dalam waktu kurang dari satu menit itu .
Dikamar yang tak terlalu besar itu Gina –wanita remaja itu- meletakkan barang – barangnya . Setelah membereskan kamarnya , Gina bersiap untuk menemui ayahnya di ruang makan . Dan datanglah Gio yang mengamati bekas kamarnya itu sendirian .
"Hmmm, wanita itu rapi juga , aku fikir wanita zaman sekarang bisanya hanya mengotori dan membuat berantakan kamarnya saja ." Sedikit rasa simpati membekuk hatinya . "Tapi tetap saja , mereka telah menempati rumahku , dan terutama kamarku ! Dan aku akan segera membuat mereka pergi dari sini . Lihat saja nanti !" Gumam Gio pada dirinya sendiri .
Tiba – tiba seekor kucing mengeong dari arah belakangnya dan mengagetkannya .
"Kucing !" Pekiknya dalam hati . Tiba – tiba fikirannya melayang dan terdampar pada kenangannya bersama Rena 35 tahun lalu . Rena sangat menyukai kucing , itu yang membuatnya bersabar dan berpura – pura tetap tersenyum saat memberikan seekor kucing sebagai hadiah ulang tahun Rena 38 tahun lalu walaupun ia tahu bahwa sebenarnya sehelai bulu kucing saja dapat membuatnya batuk berminggu – minggu . Namun baginya , apalah arti alergiya daripada seutas seyum yang akan melintang di bibir Rena nanti .
"Kucing ini sangat mirip dengan REGINA–nama kucing yang pernah ia berikan pada Rena- dan kamu bisa melihatku ." Ungkap Gio sambil mengelus kepala kucing itu yang mulai menggesek – gesekkan leher dan kepalanya dengan manja di kaki Gio seolah mengerti apa yang tengah dirasakan Gio saat itu . Namun semua itu terhenti saat Gina kembali ke kamarnya .
"Regita , ternyata kamu disini . Ayo kita makan ! Semangkuk sereal telah menunggumu . Aku yakin kamu sudah lapar ." Ucap Gina manja sambil menggendong kucingnya menuju ruang makan . Sontak Gio kaget mendengar nama kucing itu yang ternyata memiliki nama yang tak jauh berbeda dengan masalalunya . Seketika itu juga pikirannya melambung pada masa lalunya , disaat ia dengan bodohnya mengakhiri hidupnya dikamar tidurnya sendiri . Ia pun melayang mendekati atap kamarnya . Masih terlihat sisa – sisa kain tempat ia menggantungkan lehernya dahulu , yang menyebabkan ia arus meninggalkan semua orang yang sangat dicintainya . Bahkan ibu dan sahabatnya yang tiba – tiba menjadi gila karenanya .
"Bodohnya aku !" ungkap Gio , menyesali perbuatannya dahulu . Hingga kini , walaupun peristiwa itu telah lama ditinggalkannya , tepatnya lebih dari 35 tahun , namun ia masih belum bisa melupakannya atau sekedar memaafkan dirinya sendiri .
Malam hari yang sunyi Gio keluar dari tempat persembunyiannya , yaitu sebuah gudang bawah tanah , satu – satunya ruangan yang tersusun rapi dan belum terjamah oleh siapapun  sebelum Gina dan ayahnya menempati rumah itu . Dimalam hari Gio tidak bisa membuat dirinya transparan atau tidak terlihat , namun disaat itulah ia bisa terbang dan berjalan kemanapun yang ia mau tanpa dihalangi oleh matahari yang bisa dengan mudah membuat ia kepanasan bahkan terbakar . Seperti biasanya , setiap malam Gio terbang mengelilingi kota dan menyusuri setiap rumah untuk mencari Rena yang telah lama hilang . Sepanjang kematiannya ia tidak juga bisa menemukannya . Ia tidak pernah tahu kemana sebenarnya Rena pergi sejak ia meninggalkannya di taman 12 tahun lalu , tepatnya setahun sebelum hari kematiannya .
Ini adalah rumah yang entah kesekian ribu yang ada entah di kota yang keberapa pula  yang ia kunjungi . Setelah ini , jika ia tidak juga menemukan Rena , ia akan mencarinya ke kota lain . Selama ini ia tidak berani mencarinya di kota yang sangat jauh karena ia akan segera terbakar jika terkena cahaya matahari dengan intensitas yang cukup banyak .
Namun sial , dirumah yang terakhir di kota itu ia tetap tidak menemukan Rena .
"Aku yakin akan menemukanmu , Rena . Dan aku harus menemukanmu ." Sumpahnya dalam hati . Ia hanya bisa memotivasi dirinya sendiri disaat semangatnya mulai kendur .
Dan lagi - lagi iapun harus kembali dengan tangan hampa . Ia masuk melalui jendela kamar Gina yang terbuka , dan menuju ruang bawah tanah .


Keesokan harinya …..
"Ayah , apakah hari ini ayah akan mengantarku ke sekolah baruku ?" Tanya Gina pada ayahnya yang sedang sibuk membolak balik beberapa buku tebal dan mencatat beberapa hal penting didalamnya .
"Ayah sedang sibuk , Gina ." Jawab ayahnya tanpa menoleh kearahnya sedikitpun .
"Tapi hari ini adalah hari pertamaku disekolah baruku , yah ." Pinta Gina sekali lagi dengan nada manja dan wajah memelas .
Ayahnya diam sejenak dan menghentikan pekerjaannya seraya menghampiri Gina yang belum juga menyentuh sarapannya . "Sayang , kamu 'kan tahu kenapa kita pindah ke sini ? Agar ayah tidak perlu jauh – jauh dari tempat kerja ayah . Dan itu semua demi kamu, ayah harap kamu bias mengerti dengan posisi ayah sekarang ."
Gina masih diam , suasana rumah itu kembali hening . Tak jauh dari tempat mereka berdiri , Gio menyaksikan kisah yang tak menyenangkan itu . Namun ia tidak melakukan apapun selain diam .
Sesaat setelah Gina pergi sekolah , ayahnyapun ikut pergi entah kemana dengan mobil jeepnya .
"Hmmm , aku fikir dengan datangnya anak manusia akan membuat rumah ini ramai , ternyata tak ada bedanya dengan rumah – rumah lain , bahkan mungkin ini adalah potret keluarga paling bahagia didunia di zaman ini . PAYAH !!!" Gerutunya seorang diri . Tiba – tiba ia melihat pintu kamar Gina yang sedikit terbuka . Iapun tertarik memasukinya . Di kamar itu ia memandang setiap sudutnya dengan seksama . Melihat kamarnya yang suda 100% berubah , dengan cepat emosi menguasainya . Tiba – tiba terbersit dihatinya untuk memporak porandakan kamar itu , dan saat tangannya mulai menghantamkan meja belajar Gina dengan kursi , tiba – tiba tangannya terhenti . Matanya tertuju pada sebuah buku yang sepertinya tak asing dimatanya . Sekejap ia menghentikan kegiatannya untuk menghancurkan kamar Gina . Emosi yang tadinya hampir menguasai seluruh isi kepalanya sirna seketika . Tak terasa air mata mulai menetes dari tepi kelopak matanya , namun dengan cepat tangnnya segera menghapus .
"Buku ini . " Ia mencoba menggenggam buku itu . Sebuah buku tua yang pernah ia bacakan pada kekasihnya , Rena . Namun sial , Tubuhnya yang hanya tinggal bayangan saat itu tidak berhasil memegangnya . Ia gagal memastikan apakah buku itu adalah buku yang sama atau tidak . Namun ia melihat sebuah sobekan di sampul depan buku itu , sobekan yang sama yang ada pada buku miliknya yang pernah dirobek oleh Regina , kucing Renata . Ia yakin bahwa itu adalah buku yang sama . Dengan semangat ia menunggu Gina untuk pulang hingga ia tertidur diatas tempat tidur Gina yang empuk .
Malam hari , tepat pukul 11 malam Gina baru pulang , namun ia tidak menemukan ayahnya di rumah itu .
"Mungkin ayah masih sibuk dengan pekerjaannya di kantor ." Fikir gadis itu . Dengan lemas ia menuju kamarnya yang gelap karena ia enggan membawa badannya yang terlanjur kelelahan untuk sekedar menghidupkan lampu kamarnya . Ia langsung membanting tubuhnya diatas tempat tidur . Namun Gio yang masih nyenyak dengan tidurnya yang hanya berjarak satu jengkal dari tempat Rina tidur belum menyadari bahwa dirinya masih ada di sana dan telah berubah menjadi terlihat oleh siapapun yang ada disekitarnya .
Gina merasakan ada sesuatu yang mengganjal ditempat tidurnya , ia merasakan tangannya sedang menyantuh sesuatu yang lembut dan dingin . Perlahan bulu kuduknya mulai berdiri , dengan gemetar iapun menghidupkan lampu . TAK . Lampupun menyala . Ia hampir setengah berteriak melihat seorang pria yang tengah tidur diatas ranjangnya . Gio . Ia ingi menahan suaranya , namun ia tetap tidak mampu menguasai dirinya , dan akhirnya…
"Aaa…aaa…aaa…aaa…aaa…aaa…aaa…aaa…aaa…aaa……." Teriakan selama 38 detik itu cukup membuat Gio tak kalah terkejut sehingga membangunkannya dan membuatnya ikut berteriak . Namun teriakan keduanya berhenti dengan hardikan Gina yang tak kalah garang .
"Siapa kamu ?" Tanya Gina dengan wajah tegang sambil memegang pemukul baseball yang siap menghantam Gio jika berbuat sesuatu yang buruk terhadap dirinya . Ia memperhatikan wajah Gio . Lembut , ada sedikit senyum diantara rasa takut yang menghiasi wajah Gio . Membuat rasa takut Gina sedikit berkurang . "Tampan sekali pria ini ." Gumam Gina dalam hati . "Tapi siapa dia ?" Kalimat tanya terus menerus memenuhi kepala Gina
"Tolong jangan lakukan itu , kamu hanya akan membuang – buang tenagamu saja , aku akan menceritakan semuanya padamu jika kamu menurunkan tongkat itu dan kita akan bicara baik – baik . " Bujuk Gio dengan sedikit memelas .
Perlahan Ginapun menurunkan pemukul baseball dari tangannya . Gio duduk di tepi ranjang , sementara Gina duduk di atas kursi belajarnya bersama tongkat pemukul baseball yang tak ingin jauh darinya . Setelah suasana agak tenang Giopun memulai pembicaraannya .
"Perkenalkan , aku Gio !" Tutur Gio seraya mengulurkan tangannya . Gina mencoba meraih tangan Gio dengan secerca keraguan . Dingin . "Aku adalah penghuni rumah ini tepat sebelum kamu menempatinya sejak 18 tahun lalu ." Jelas Gio hati – hati untuk memulai percakapan . Namun sial ! Percakapan itu menjadi pembuka sekaligus penutup .
"Jadi kamu … kamu… hantu yang dibicarakan oleh penduduk sekitar itu ?" Tanya Gina memastikan . Gio hanya mengangguk dengan sedikit rasa takut dan ragu . Dan BLEK . Hal yang terjadi setelah itu tak jauh dari bayangan yang lebih dulu telah memenuhi kepala Gio . Gina pingsan ditempat .
Gio langsung panik dan kepanikannya semakin menjadi saat tiba – tiba terdengar suara pintu yang terbuka dari arah ruang tamu . Gio hampir meraih tangan Gina untuk mencoba mengangkatnya ke atas ranjang . Namun sial ! Ayah Gina sudah hampir selangkah lagi memasuki kamar Gina . Karena takut membuat keributan , dengan cepat Gio terbang keluar dari jendela kamar Gina dan menghilang bersama angin .
 



Keesokan harinya , di ruang makan ….
"Apa sekolahmu menyenangkan , Gina ?" Tanya ayah Gina yang baru ingat bahwa tadi malam telah terjadi sesuatu yang aneh pada putrinya saat ia menemukan Gina tidur diatas lantai kamarnya .
"Tidak buruk . Hingga seminggu ini Gina berhasil mempuyai satu orang teman ." Jawab Gina denga sedikit tersenyum sembari mengoleskan selai rotinya.
"Tapi , kenapa tadi malam kamu tidur dengan seragam sekolah ?" Namun pertanyaan yang satu ini cukup membuat senyum Gina memudar . Ayah Gina dengan cepat menangkap perubaha itu , namu Gina lebih cepat mengalihkanya .
"Iya , Yah , tadi malam Gina kecapean , kirain udah sampai di ranjang rupanya masih di lantai, hehehe." Jawaban yang amat tidak masuk akalpun keluar dari mulut seorang Gina . "Oh iya , udah telat nich . Gia berangkat dulu ya , Yah ." Pamit Gina secepatnya sebelum kata – kata apapun keluar dari mulut ayahnya . Awalnya ayahnya masih heran memikirka anaknya itu , namun ia cepat melupakanya saat berada ditengah – tengah tumpuka pekerjaan yang sejak tadi menantinya .
Dari kamar Gia , Gio masih sibuk bermain dengan Regita . Sejak itu Gio dan Ginapun semakin akrab . Mereka mulai menjalin persahabatan yang indah . Mereka melewati hari – hari dengan manis-pahit , gelap-terang dan warna-warni persahabatan . Walaupun ada sedikit perbedaan rasa yang lebih






Gina duduk diatas tembok balkon kamarnya yang tingginya tidak lebih dari 1 meter . Ia memandang langit yang penuh dengan bintang – bintang . Indah sekali . Wajahya tampak gusar , dari matanya seperti ada yang akan tumpah . Dadanya mulai sesak . namun ia mengalihkanya dengan mengayunkan kedua kakinya .  
"Ada yang ingin kamu luapkan ?" Tiba – tiba seseorang telah duduk tepat disampingnya dan sukses memecah lamunannya .
"Gio , aku..aku…" kalimat Gina terputus dengan desisan Gio .
"Ssssssttt… Janga bicara jika kamu tidak sanggup ." Gina hanya menatap Gio , kelopak matanya kian pasrah dengan ringkuhan beban yang lebih dahulu telah menyesaki dadanya . Gio semakin menangkap bahasa tubuh Gina . "Menangislah , Gina ."
Tangis Ginapun tumpah di pundak Gio .
"Kenapa Tuhan begitu jahat padaku , Gio ? Kenapa Ia kirimkan aku ayah seperti dia ? Aku tak ingin apapun . Biarlah Ia mengambil ibuku yag sangat kusayangi , biarlah Ia megambil kekasihku yang sangat kucintai lebih dari apapun , biarlah Ia menjauhkanku dari semua sahabat – sahabat yang telah member warna pelagi dalam hidupku . Tapi jangan nenekku   , Gio . Cukup Ia dengan semua yang telah diambilnya bersama ayah yang telah lama melupakanku . Cukup Ia yang telah membuat ayahku untuk selalu tidak punya waktu da lupa untuk member kasih sayangnya padaku . Dia boleh ambil semuanya tapi jangan nenekku , Gio . Jangan nenek ." Ungkap Gina sambil membiarkan air matanya terus mengalir sesuka matanya .
Gio hanya diam membiarkan Gina meluapkan semua yang telah pendamnya selama ini . Hatinya perih mendengar semua rintihan Gina . Malam itu , untuk pertama kalinya Gio memendam rasa simpati kepada wanita lain selain Rena . Tiba – tiba , jantungnya yang telah lama berhenti berdegup mulai merasakan sesuatu yang berbeda . Seperti ada perasaan nyaman yang luar biasa . Namun disisi lain , Gio uga merasakan segelintir resah yang terbalut dengan kerinduan kepada seseorang . Rena . Ia berharap akan segera bertemu dengan Rena .
Dan ketika Gina mulai tenang dari semua emosinya . Gina menatap mata Gio , dalam sekali , seolah ia tak ingin jauh dari Gio . Dan ketika itu , untuk pertama kalinya pula ia merasakan hal yang berbeda dari yang pernah ia rasakan . Bahkan kini hatinya mulai merasakan nyaman walau tanpa kekasihnya yang telah lama mengkhianatinya dahulu .
Gio ikut menatap Gina serius , namun tiba – tiba pandangannya tertuju pada sebuah liontin yang melingkar di leher Gina . Sesaat ia terpaku aneh . Dan matanya mulai berkaca . Gina menangkap tatapan itu . Namun Gio dengan cepat mengubah pandangannya . Ia mulai angkat bicara .
"Gina . Apa itu liontinmu ?" Tanya Gio hati – hati .
"Oh , iya . Ini adalah warisan turun temurun . Dulu , nenekku yang memberikannya pada ibuku , lalu ibuku memberikannya padaku ."
"Boleh aku melihatnya sebentar ?" Pinta Gio .
"Tentu !" Gina melepaskan liontinnya . Sesaat ia terperangah menatap Gio yang dengan serius memperhatikan setiap sisi liontin itu .
Tiba – tiba mata Gio yang tadinya berkaca – kaca meneteskan embun dari sudut matanya . Gina yang heran mencoba untuk tetap mengamatinya dan membiarkan Gio berbuat semaunya pada liontin itu . Namun ia semakin penasaran , hingga sesuatu terucap dari kedua bibirnya .
Ginapun mulai bertanya dengan penuh kehati – hatian , ia khawatir akan merusak suasana hati Gio yang seakan mulai betah dengan sikapnya . "Mengapa kamu menangis , Gio ? Apa Liontin itu ada hubungannya dengan Rena ?"
Double Brace: Air mata mulai membasahi pipinya . 
"Mungkin itulah saat dimana  air mata berbicara ketika mulut tidak lagi mampu mengucapkan apapun"
Gio hanya mengangguk dengan kepastian yang terpancar dari matanya . Air matanya mulai membasahi pipinya . Gina yang mulai mengerti dan mencoba memahami apa yang kini dirasakan oleh Gio mulai memutar otaknya . keningnya berkerut pertanda ia tengah berfikir keras . Matanya metap teliti jam yang melingkar di tangannya .
"Belum terlambat !" Senyum mengembang dari kedua bibir Gina yang merah . Namun Gio hanya merasa sedikit bingung .
"Terlambat untuk apa ?" Tanya Gio yang semakin penasaran dengan binaran mata Gina yang memancar jelas .
"Apakah kamu benar - benar merindukan Rena ?" Tanya Gina memastikan .
"Tentu ! Menurutmu apalagi alasanku untuk tetap berada disini sampai sekarang ?" Jawab Gio pasti .
"Kalau begitu ikut aku !" Gina segera mengambil baju hangatnya dan berlari menarik tangn Gio dengan kencang menuju mobil . Setelah mendudukkan gio di jok penumpang , Gina langsung menginjak gas dan menderu mobil dengan kencangnya . Ia tidak lagi memperdulikan siapapun dan apapun yang ada dihadapannya bahkan lampu lalulintas yang sedang merah .
"Gina ! Apa kamu gila ??!! Kamu belum punya SIM !" Hardik Gio .
"Hohoho , ternyata hantu jadul sepertimu tahu juga ya soal SIM !" Pernyataan Gina cukup membuat Gio sedikit tersinggung . "Tapi kali ini kamu salah kalau menganggapku sebagai anak jadul juga . Karena aku adalah remaja 17 tahun yang bisa berbuat apapun diatas Jeep ayahnya !!! Hahahaha…" Sepintas jawaban Gina itu membuat Gio lantas berfikir kalau ada yang salah dengan Gina , atau mungkin Gina memanglah orang yang seperti itu . Namun kini hidupnya ada didalam genggaman wanita aneh ini .
"Gina ! Aku tidak ingin mati untuk yang kedua kalinya !!!" Pekik Gio .
"Bukankah kamu sudah mati ?" Tanya Gina menantang Gio .
"Kamu benar – benar Gila !" Teriak Gio untuk yang terakhir kalinya . Setelah itu Ia diam untuk beberapa saat . Gina hanya tertawa kecil sambil terus menjaga konsentrasinya pada setir mobil . Hingga akhirnya mereka sampai didepan rumah sakit . Gina memarkirkan mobilnya ditempat yang menurutnya aman , lalu kembali menarik tangan Gio bersamanya menuju salah satu ruangan dirumah sakit itu .
Di ruangan itu sangat sepi . Hanya terdengar suara titik – titik dari alat pendeteksi jantung . Berbeda sekali dengan suasana hati Gio yang masih penuh dengan gedebak-gedebuk dan emosi yang memenuhi hatinya . Namun keributan hatinya perlahan mulai sirna ketika matanya mulai menangkap sosok seorang wanita tua yang tengah berbaring diatas satu – satunya ranjang pasien yang ada di ruangan itu . Wanita itu terlihat lemah dengan segala macam peralatan medis yang cukup canggih yang terpasang ditubuh wanita itu , hingga Gio sendiri tak mengenali satupun alat – alat itu . Gio seperti mengenal wanita itu , seolah ia pernah bertemu dengannya , namun ia tidak ingat kapan dan dimana . Ia masih berusaha keras mengingat siapa wanita itu . Hingga Gina angkat bicara .
"Itu nenekku . Rena ."
Sontak pernyataan Gina membuat Gio setengah tak percaya , seketika hatinya mulai senyap . Matanya kini mulai berkaca pasti . Perlahan kakinya mulai melangkah mendekati pembaringan wanita itu . Fikirannya terlempar kedalam sebuah bayangan masa lalunya .
Ketika ia telah benar – benar mendekati tempat tidur itu . Senyum , air mata dan berbagai rasa berkumpul dihatinya yang tampak samar dari raut wajahnya . Senang karena akhirnya ia dapat mengakhiri pencahariannya selama ini . Sedih karena melihat Rena yang tampak tersiksa dengan penyakit yang tengah dihadapinya saat ini . Gio menatap wajah Rena dalam – dalam . "Bahkan kamupun masih seperti dulu , tetap tersenyum dalam sakitmu . " Isak Gio .
"Dia telah lama koma ." Ungkap Gina . Gio mencoba menoleh , memperhatikan penjelasan Gina . "Lebih dari 5 bulan . Dokter telah lama pasrah dengan penyakit dan keadaan nenek . Namun ayah tidak mau menyerah , hingga nenek masih bisa hidup sampai saat ini . "
Tatapan Gio kembali pada Rena . "Rena , bangun . Ini aku , Gio . Kekasihmu dulu . Aku sangat merindukanmu . Merindukan Renata . Apakan kamu tidak merindukanku ? Bangun . Aku janji tidk akan meninggalkanmu lagi . Aku mohon. " Rintihan Gio seolah memberi setitik kejaiban pada tubuh Rena yang telah lama terkapar dipembaringannya .
Tiba – tiba setetes air mata jatuh dari sudut mata Rena . Tangannya perlahan mulai bergerak . Melihat itu senyum pun mengembang dari kedua bibir Gio dan Gina . Gio terus memanggil Rena dan Gina memanggil dokter . Sesaat dokterpun datang untuk memeriksa Rena . Namun Gio dan Gina tidak diizinkan mendekat . Mereka dipaksa untuk keluar ruangan .
Tidak brapa lama kemudian dokterpun keluar dengan stetoskopnya . dengan cepat Gio dan Gina memburu dokter .
"Bagaimana keadaannya , Dok ?" Tanya Gio dan Gina serempak . (suatu hal yang klasik bukan ?)
"Sungguh  suatu keajaiban yang sangat luar biasa . Setelah berbulan – bulan para dokter disini pasrah dan menyerah dengan nasib nenek kalian , kini Ia mulai sadar . Tapi ingat , kondisinya belum stabil , jadi jangan diajak bicara terlalu banyak dulu . Dan besok tes pemeriksaannya sudah bias diambil di ruangan saya ." Penjelasan singkat dari Dokter cukup membuat keduanya tenang . Merekapun seolah tidak percaya . Setelah mengucapkan terimakasih pada sang Dokter , Merekapun memasuki ruangan .
Mata yang telah berkaca – kacapun telah terpasang di wajah Rena . Tatapan sendu itu mencoba menangkap bayangan Gina seorang diri . Gina memang menyuruh Gio untuk masuk belakangan , disaat waktu yang tepat karena ia tidak ingin membuat neneknya shok . Ia masih tampak lemas . Namun dimatanya , masih ada sedikit kebingungan yang tersirat .
"Nenek sudah baikan ?" Tanya Gina membuka percakapan .
"Ya , sudah lebih baik ." Jawab Rena sembari celingukan menatap seisi ruangan .
"Nenek mencari sesuatu ?"
"Iya , tadi nenek seperti mendengar sesuatu . Apakah kamu dating bersama seseorang?" Tanya Rena , masih dengan tatapan bingung .
"Mmmm, sebenarnya , tadi Gina memang dating bersama seseorang , Nek ." Kepala Gina menoleh keluar endela ruangan , seolah member isyarat kepada seseorang yang ada dibaliknya .
Tiba – tiba seseorang masuk dari balik pintu . Sesosok lelaki dengan pakaian rapi dan berjalan dengan hati – hati . Saat ia masuk , Rena Merasakan getaran aneh dihatinya . Ia sangat terkejut melihat kedatangan seseorang yang selama ini telah ia nanti . Matanya mulai memerah , seperti ada sesuatu yang jatuh dari sudut matanya . Itu Gio . Lantas Rena pun menangis tak percaya .
"Rena ." Seru Gio dengan nada serak .
Dengan sedikit bijak Gina meninggalkan Gio dan neneknya diruangan itu berdua . Ia ingin memberi kesempatan kepada mereka untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang telah lama menjalar diantara mereka .
"Aku minta maaf , Rena ." Pinta Gio membuka percakapan .
"Tidak , ini bukan salahmu Gio . Ini semua salahku . Semua ini berawal ketika orang tuaku menjodohkanku dengan seseorang yang tidak pernah sekalipun kucintai . Saat orang tuaku tahu bahwa kamu telah lumpuh , mereka memaksaku untuk meninggalkanmu dan membawaku ke luar kota . Mereka meberniat untuk menikahkanku dengan seorang pemuda yang kaya karena berfikir bahwa kamu tidak akan pernah bisa membahagiakanku karena lumpuh . Namun aku tidak mau karena aku sama sekali tidak mencintai bahkan menyukainya . Dan akupun nekat kabur dari rumah dan kembali ke kota ini untuk menemuimu . Tapi aku terlambat , saat aku ke rumah orang tuamu aku menemukan kedua orang tuamu sedang bersiap – siap untuk pindah , dan mereka bilang kamu sudah meninggal . Aku sangat terpukul . Aku mencoba untuk melakukan hal yang sama denganmu untuk mengakhiri hidupku dan menemuimu di alam yang berbeda , aku fikir itu akan berhasil , tapi aku salah . Kakitangan orang tuaku menemukanku dan mengirimku ke luar kota . Mereka langsung menikahkanku dengan pemuda itu . Aku tetap mencoba bunuh diri , namun selalu gagal . Suamiku selalu menggagalkannya , hingga aku dipaksa untuk tinggal di Rumah Sakit Jiwa selama bertahun – tahun . Semua orang memaksaku untuk melupakanmu , tapi aku tidak bisa melakukannya . Sampai akhirnya aku berpura – pura melakukannya dan menerima pemuda itu . Semua kerabatku sangat gembira . Tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya kebahagiaan mereka menyiksaku . Dan sampai sekarang aku tidak akan pernah melupakan itu , terutama melupakanmu . Aku yakin , suatu saat nanti aku akan bertemu denganmu . Tapi aku tidak menyangka , aku akan bertemu denganmu disini dan dalam keadaan seperti ini ." Ungkap Rena panjang lebar .
"Tidak ada yang mengetahui rencana Tuhan , kan ?" Tanya Gio dengan seutas senyum di bibirnya .
"Kamu tidak pernah berubah , Gio ." Jawab Rena . "Dan kamu sendiri , apa yang telah terjadi padamu sampai kamu begini ?"
"Hmmm , bagaiamana ya ? Sebenarnya aku ingin sekali menceritakan semuanya padamu sekarang , tapi aku ingin menjadikannya sebuah kejutan jika kau datang keduniaku ." Seru Gio dengan nada sedikit bercanda .
"Jadi kamu datang untuk menjemputku ? Oh , baiklah . Dengan senang hati . Bahkan aku siap ikut denganmu sekarang ."
"Dan meninggalkan malaikat kecil yang selama ini menunggu – nunggumu disini ?" Tanya Gio seraya menoleh ke balik jendela hingga tampak sepintas wajah Gina yang sedikit mengintip dari baliknya .
"Tentu tidak , aku akan memberikannya sebuah surat dan sedikit kado kecil yang mungkin bisa merubah hidupnya ."
"Baiklah , besok malam aku akan menjemputmu . Jadi bersiaplah untuk kedatanganku ."
"Aku tidak sabar menunggu , Gio ." Sesaat setelah perbincangan itu , Gio pun terbang , hilang bersama malam . Gina masuk dengan wajah kebingungan .
"Kamu mencari sesuatu , Gina ?" Tanya Rena mencoba menebak apa yang ada dipikiran Gina . "Dia sudah pergi , dan besok malam akan kembali lagi kesini ."
Gina masih terdiam . "Sini , duduk dekat nenek . Nenek ingin menghabiskan waktu bersama cucu nenek yang paling menyayangi nenek dan nenek sayangi ." Ucap Rena lembut . Namun kata – kata itu sungguh gersang ditelinga Gina .
"Menghabiskan waktu ? Apa yang sebenarnya dimaksud nenek ?" Gumam Gina dalam hati . Namun ia lekas melupakannya karena terlanjur sangat merindukan neneknya . Mereka bercerita sampai pagi . Gina sangat bahagia . Hingga ia harus kembali pulang untuk bersekolah . Dengan berat hati ia meninggalkan neneknya , namun Rena hanya melepaskannya dengan senyuman .
"Pergilah , Cucuku . Kelak kamu harus mengejar cita – citamu dan membuat nenek bangga padamu ." Pesan Rena saat memastikan Gina keluar dari ruangan itu . Gina yang mendengarnya semakin heran dengan apa yang tengah difikirkan atau mungkin direncanakan oleh neneknya itu . Namun ia hanya dapat meninggalkan neneknya dengan semangat untuk menjalankan pesannya . Ia tidak sabar untuk kembali lagi nanti . Ia berjanji akan membawa kejutan untuk neneknya .



Kamis, 13 Maret 2014